Berjogja.com – Kasus keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus berulang sejak awal peluncurannya pada Januari 2025.
Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM, Sri Raharjo, menilai ada sejumlah faktor mendasar yang menjadi penyebab. Berikut empat sorotan utamanya:
1. Target Program yang Terlalu Ambisius
Pemerintah menargetkan 80 juta siswa menjadi penerima MBG di tahun pertama. Menurut Sri, langkah ini terlalu terburu-buru.
Pembangunan 30 ribu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) butuh biaya besar, sistem matang, serta tenaga terlatih, hal yang sulit diwujudkan dalam waktu singkat.
2. Lemahnya Sistem Pengawasan
Fungsi pengawasan makanan belum berjalan optimal. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru kekurangan tenaga pengawas, sementara SPPG di lapangan juga banyak yang belum siap.
Akibatnya, risiko makanan kurang matang atau terkontaminasi bakteri berbahaya meningkat.
3. Ancaman Kesehatan Anak
Kasus keracunan yang berulang bisa menimbulkan dampak jangka panjang bagi siswa, mulai dari diare, menurunnya nafsu makan, hingga gangguan gizi.
Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan tujuan awal program, yaitu meningkatkan kesehatan anak sekolah.
4. Belum Ada Payung Hukum yang Jelas
Prof. Sri menilai program MBG membutuhkan dasar hukum khusus. Ia mencontohkan Jepang yang memiliki undang-undang makan siang sekolah untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan.
Tanpa regulasi jelas, pengelolaan MBG rawan masalah di kemudian hari.
Menurut Sri Raharjo, evaluasi menyeluruh dan pendataan kondisi gizi siswa sangat penting agar program MBG tidak kembali memunculkan kasus serupa.
Ia juga menekankan bahwa sekolah dan orangtua berhak menolak program bila dianggap belum siap.